
Sebuah ungkapan yang sering tercatat dan terucap dalam pidato-pidato pemimpin dan pejabat pemerintahan di negara kita sejak dahulu sampai sekarang ketika menggambarkan bagaimana pentingnya peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ialah bahwa “agama merupakan sumber etik, moral dan spiritual pembangunan bangsa.” Ungkapan yang tegas, lugas dan tidak memerlukan penafsiran.
Akan tetapi, pernyataan resmi belum memberi pengaruh apa-apa jika tidak direalisasikan dalam bentuk keberpihakan institusi negara terhadap norma dan nilai-nilai agama itu sendiri sebagai ajaran Ilahi yang mencakup segala aspek kehidupan manusia baik dalam kehidupan individual maupun sosial.
Ironisnya, pengakuan bahwa agama sebagai sumber etik, moral dan spiritual pembangunan bangsa seringkali bertolak-belakang dengan kenyataan yang kita alami sehari-hari. Pekan Kondom Nasional (PKN) yang sangat menghebohkan adalah contoh ironisnya pernyataan dengan kebijakan. Menurut Kementerian Kesehatan kegiatan PKN ini digagas oleh sebuah Perusahaan Swasta atas sepengetahuan KPAN (Komisi Penanggulangan Aids Nasional) dalam rangka peringatan Hari AIDS Sedunia. Rasa keagamaan dan perasaan moral kita sebagai bangsa yang beragama sangat terusik, sedih, prihatain, dan galau dengan kegiatan tersebut.
Kegiatan yang semula akan digelar selama sepekan tanggal 1-7 Desember 2013 selain diisi dengan penyuluhan tentang HIV/AIDS, sekaligus road-show pembagian kondom gratis di tempat umum dan kampus perguruan tinggi.
Karena ditentang oleh banyak pihak, terutama oleh para ulama, para tokoh, para pendidik, serta organisasi Islam di tanah air, Kementerian Kesehatan pada akhirnya membatalkan Pekan Kondom Nasional yang menuai kontroversi itu.
Jika direnungkan, sulit dipahami alasannya bahwa Pekan Kondom Nasional sebagai ajang kampanye untuk pencegahan bahaya HIV/AIDS akan mencapai hasil yang diharapkan. Saat ini moral dan akhlak generasi muda kita dilanda bahaya kemerosotan, antara lain ditandai maraknya pergaulan bebas dan perzinaan (hubungan seks bebas), maka kampanye pemakaian kondom sangat kontraproduktif dan bahkan mendorong kerusakan (mudharat) yang lebih besar. Ibarat mengobati penyakit dengan menimbulkan penyakit yang lebih berbahaya.
Berdasarkan laporan UNDP (United Nation Development) sebuah badan di bawah PBB bahwa pada tahun 2012, jumlah pelacur wanita di Indonesia sebanyak 324.000 orang, dengan ratio pelacur dan hidung belang 1 : 37. Berarti jumlah pelacur pria sebanyak 12 juta orang. Jika diasumsikan biaya pelacuran satu juta rupiah per-orang per-bulan, maka volume bisnis pelacuran bisa mencapai 144 triliun per-tahun setara dengan membuat 31 jembatan Suramadu (Surabaya – Madura).
Karena itu pencegahan HIV/AIDS melalui kampanye penggunaan kondom merupakan tindakan yang ceroboh, mempermainkan norma agama, dan melecehkan kesusilaan masyarakat. Selain itu, jelas mengkhianati pengakuan tentang peran agama sebagai sumber etik, moral dan spiritual pembangunan bangsa.
Sementara itu, dalam beberapa pekan terakhir ini masyarakat dibuat bingung dengan inkonsistensi kebijakan pimpinan Kepolisian Negara RI menyangkut kebebasan penggunaan jilbab bagi anggota Polisi Wanita (Polwan). Semula karena desakan publik, Kapolri mengizinkan penggunaan jilbab bagi anggota Polwan, tapi belakangan diralat melalui telegram rahasia yang menganulir pernyataan Kapolri. Untuk sementara waktu, hingga Peraturan Kapolri (Perkap) yang baru keluar, para anggota Polwan diminta untuk tidak dulu mengenakan jilbab karena alasan teknis yang sebenarnya dapat diatasi oleh para anggota Polwan sendiri, yaitu belum adanya anggaran pengadaan seragam dan sebagainya. Lebih tidak mengenakkan, pernyataan petinggi Polri yang seolah mempertentangkan kemerdekaan melaksanakan syariat agama dengan aturan formal yang berlaku di lingkungan institusi Polri, seperti komentar yang berbunyi kalau mau berjilbab jangan mendaftar jadi Polwan.
Polemik jilbab anggota Polwan mengingatkan kita kembali pada kontroversi pelarangan jilbab yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bagi pelajar SMA sekitar akhir dekade 1980-an. Sejarah kembali berulang dengan aktor dan subyek yang berbeda.
Ketika citra Polri di mata masyarakat mengalami degradasi belakangan ini, seharusnya pimpinan Polri mendukung upaya memperkuat benteng pertahanan mental-ruhani anggota Polri, yaitu ketaatan menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Kesadaran mengenakan busana muslimah bagi anggota Polwan akan membuat anggota Polwan lebih anggun, berwibawa, dan insya Allah akan memiliki rasa malu dan kontrol diri untuk menjauhi perbuatan tercela yang menodai profesi terhormat sebagai pelayan dan pelindung masyarakat. Menggunakan jilbab di tempat kerja adalah hak asasi manusia dalam beragama yang tidak boleh dilarang atau dibatasi. Salah satu nilai ketakwaan kepada Allah SWT tercermin dari ketaatan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Dari dua contoh kasus di atas, menunjukkan pada kita bahwa peran agama dalam wilayah publik, serta amar makruf nahi munkar belum dipahami secara baik di semua lini penyelenggara negara. Dalam konteks bernegara, dasar negara Pancasila sering diletakkan dalam perspektif sekular, yang lepas dari perspektif agama. Kita ingat almarhum Bung Hatta, tokoh proklamator kemerdekaan dan pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia menegaskan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan fundamen moral dan prinsip yang harus membimbing bagi cita-cita kenegaraan kita.
Namun disayangkan, dalam praktik bernegara dan berpemerintahan, gagasan-gagasan besar dan mulia dari pendiri negara kita sering diabaikan dan ditinggalkan, sehingga yang terjadi ialah sebagian pemimpin yang diberi amanah menyelenggarakan urusan pemerintahan tidak selalu berusaha melakukan amar makruf nahyi munkar, tetapi ada yang sebaliknya melakukan “amar munkar, nahyi makruf” (menyerukan atau memfasilitarsi yang munkar dan melarang atau menghalangi yang makruf) melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan, baik disadari atau tidak.
Seorang muslim dalam ajaran Islam dituntut untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar di mana pun berada, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah perbuatan yang dilarang Allah SWT, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, Sabda Rasulullah SAW dalam Hadis yang sangat populer, “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah dia merubahnya dengan kekuatannya atau dengan tangannya. Kalau dia tidak bisa dengan tangannya, hendaklah dia merubahnya dengan lisannya. Dan jika dia tidak mampu merubahnya dengan lisannya, hendaklah dia membenci kemungkaran tersebut dengan hatinya.” (HR Muslim)
Dalam hadis yang lain, Rasulullah mengingatkan betapa bencana menimpa umat apabila telah terjadi penjungkir-balikan nilai agama, dimana muncul orang-orang yang menyeru kepada kemunkaran dan melarang mengikuti yang makruf. Semoga kita termasuk kategori umat yang disebut dalam al-Qur’an surat Ali Imran [3] ayat 104, yaitu orang-orang yang terlibat aktif di dalam mengajak orang lain ke dalam Islam, menyeru pada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Dan mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan.
Wallahu a’lam bisshawab
Sumber:
- Foto : www.psikologiku.com
- Tulisan : republika.co.id, edisi Ahad, 08 Desember 2013 M/05 Shafar 1435 H
0 Komentar